Tentang Popularitas

privasiPopularitas berasal dari kosakata populer, berarti: dikenal dan disukai banyak orang; disukai dan dikagumi orang banyak (KBBI: 1988: 695). Popularitas menjadi sebuah hal yang dekat dengan kalangan artis dan politisi. Barangkali dua kalangan itulah yang sedang ‘naik daun’ di ruang publik belakangan ini.

Seperti halnya para artis lebih banyak menghiasi di layar kaca hampir di seluruh setiap stasiun televisi swasta. Melalui tayangan infotainment, wajah artis tampil di sana. Sudah lumrah buat kita semua, tayangan yang isinya kawin-cerai, pertikaian, pertengkaran, keretakan rumah tangga. Sudah jenuhkah masyarakat yang menjadi penonton?

Baiklah, media massa macam stasiun televisi yang menyiarkan tayangan infotainment yang isinya kebanyakan artis itu, merupakan agenda setting media. Media massa menentukan sendiri, mana yang menarik untuk disiarkan dan mana yang tidak. Saya ingat jargon yang sering menjadi perburuan para jurnalis untuk memiliki nilai berita (news value) tinggi adalah bad news is a good news. Anda sepakat?

Ketika hal-hal yang sensitif dan ruang privasi artis dibuka sedemikian lebar di tengah-tengah wajah televisi publik, lalu mereka tersinggung adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Semua orang pasti tidak akan suka hal-hal privasinya dibuka ke tengah masyarakat luas. Untuk apa? Siapa yang mengganggap itu penting dan siapa yang butuh?

Persoalannya karena popularitas artis menjadi hal yang wajar bagi kalangan infotainment untuk membuka semua termasuk aib ke ruang publik. Itulah saya tidak sepakat orang-orang yang bekerja di infotainment disebut sebagai jurnalis/wartawan. Saya masih lebih menghargai hasil karya jurnalis/wartawan yang meliput narasumber, mewawancarai, mencari data, menulis, dan menyebarkan informasi (fakta) kepada khalayak publik yang benar-benar mereka butuhkan. Daripada mereka (orang-orang infotainment) yang sehari-harinya tak jauh-jauh mencari dan membeberkan masalah pribadi orang (terutama artis) dengan amat detail.

Harian Kompas, Minggu, 16 November 2008, menulis “Olok-Olok Soal Privasi”, menyebutkan selain tayangan infotainment ada pula tayangan reality show. Isinya bukan artis, tapi orang-orang biasa. Tengok saja acara macam “Termehek-mehek”. Persoalan hidup diungkap ke layar televisi. Dari masalah ditinggal sang pacar sampai mencari keluarga yang telah lama tidak bertemu lagi. Orang bersedia saja membeberkan masalah pribadinya, asal bisa masuk televisi.

Tayangan infotainment dan reality show tentu tidak ingin dipersalahkan atas tayangan mereka. Ya sementara di luar sana, entah berapa ribu orang yang telah muak dengan tayangan yang dianggap tidak bermutu dan bermanfaat ini. Selama masih ada penonton yang suka dengan tayangan tersebut, mungkin mereka (pekerja infotainment) mengganggap tidak masalah, toh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak memerintahkan untuk menyetop tayangan infotainment yang begitu banyaknya telah menghiasi layar kaca televisi dari pagi hingga sore.

Bagi media massa yang menayangkan infotainment tujuannya tak lain demi menaikkan rating. Rating tinggi berarti iklan mengalir banyak di acara tersebut. Ibarat sebuah kue dihidangkan oleh pengiklan. Masing-masing infotainment mendapatkan jatah kue yang berbeda-beda. Yang berhasil menaikkan rating tentu mendapat jatah lebih banyak daripada yang lainnya. Tapi, bagaimana dengan publik penonton? Tentu tak pernah kalangan pekerja infotainment memerhatikan apa yang mereka tonton dari acara infotainment. Kawin-cerai, pertikaian, keretakan rumah tangga, seperti telah menjadi tren masa kini yang turut ditiru/dicontoh masyarakat.

*Foto: Kompas, Minggu, 16 November 2008.

11 Comments

Filed under dialog, diskusi, opini, televisi

11 responses to “Tentang Popularitas

  1. koq bisa sama ya Om..
    daku pun pernah mo tulis tentang hal ini, karena daku pun baca itu artikel kompas..

    btw, inilah indonesia (cmiiw) Om, yang jelek justru ratingnya bagus..

  2. ekelupaan, PERTAMAX!
    sekalian KEDUAX !

    😀

  3. popularitas ga terlalu penting, yang penting kontribusi!

  4. ana setuju banget tuh dg analisa kando di paragraf 5.. jangankan individu wartawannya, media pun skr sudah ditunggangi oleh yg berkepentingan sehingga informasi yang disampaikan pun tidak murni hasil liputan. krn toh hampir smua kolom adalah berita “komersil” yang hanya dikemas menjadi berita anu dan anu.. huff.. miris emang.. bener2 menginjak-injak idealisme para jurnalis..

    tapi, mereka pun punya dalil tersendiri, “ini kan tuntutan kerja. kami harus profesional. rating media naik itu pertanda riski kami bertambah. hanya dg begini, rating media kami bisa menanjak pesat”

    ow ow ow..

    yang jelas, dari apa yg sudah terjadi, ini pembodohan publik!!!!

  5. Eh tanggalnya itu lho.. tanggal spesial.. hwhwhwhw…

    Btw.. ku bukan superstar… tapi ku famous :p

  6. ivn

    promosi adalah segalanya….

  7. yayaya…
    dari dulu saya emang ga tertarik sama infotainment. pun saya ga setuju bila “pemburu berita infotainment” itu disebut sebagai wartawan! cuih!
    *menekuri kode etik pers* 😛

  8. itulah industri, baik atau buruk bukan urusan mereka, yang penting rating naik walau masyarakat selalu diracuni sampah-sampah infotainment.
    dengan rating tinggi maka iklan akan ber”sliweraan” dan uang pasti ada digenggaman.

  9. popularitas.
    penting kah? 😀

  10. …, toh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak memerintahkan untuk menyetop tayangan infotainment yang begitu banyaknya telah menghiasi layar kaca televisi dari pagi hingga sore.

    Bukan hingga sore. Tapi hingga pagi lagi.

Leave a reply to cici_silent Cancel reply